0

Sang Bocah Hujan Part.2


Hujan kembali datang. Bahkan 2 kali lebih deras dari sebelumnya. Dan aku, lagi-lagi terjebak di halte tua ini. Sama seperti kemarin. Namun ada satu hal yang berbeda, aku tak menganggap ini sebagai kesialan.

Tak dapat kupungkiri keinginanku, untuk tersenyum lebar saat kulihat siluet tubuh yang ku kenal mendekat ke arahku. Ian. Tak memakai payung, jas hujan, atau apapun. Berjalan santai menembus derai hujan yang mengalir deras dari atas cakrawala. Bahkan di tengah cuaca yang buruk seperti ini pun, ia masih bisa menyunggingkan senyum menawannya.



“Sudah menunggu lama?”tanyanya sedikit terengah saat tiba di hadapanku.

Aku menatapnya sebentar. Lalu menggeleng.

“Bagus,”balas Ian ceria.

Tanpa aba-aba, ia langsung menarik tanganku dan membawaku ke bawah naungan hujan. Aku menjerit. Sontak kulepas tangan Ian dari tanganku dan berlari kembali menuju halte. Laki-laki itu menatapku kebingungan.

“Kamu kenapa?”tanyanya padaku.

Aku hanya menunduk sembari mendekap tubuhku. Dingin. Dingin sekali.

“A-aku nggak apa-apa. Cu-cma kaget a-aja waktu kamu narik ti-tiba-tiba,”jawabku setengah menggigil.

Ian tersenyum dan mengelus kepalaku lembut. Ahh…tubuhku yang tadinya kedinginan, mendadak mendapatkan siraman kehangatan. Ian kembali menggenggam tanganku.

“Kamu percaya kan sama aku?”tanyanya.

Aku memberanikan diri untuk menatap langsung ke bola matanya. Dan cukup terkejut ketika Ian melakukan hal yang sama. Aku termenung. Wajah Ian seolah memberikan kesan familiar padaku. Dan dengan perlahan, aku pun mulai mengangguk.

Senyum Ian benar-benar lebar sekarang. Ia mengajakku keluar dari naungan halte, layaknya seorang pangeran yang membantu putrinya untuk turun dari kuda.

Badanku mulai basah kuyup. Air hujan yang jatuh seakan menggelitik ketika menghantam permukaan kulitku. Sulit melihat dengan air yang menumpuk di atas bulu matamu. Sama sulitnya untuk berbicara dengan air yang menyusup ke dalam celah bibir.

Namun Ian tak terlihat seperti itu. Sembari menggenggam tanganku, ia mengajakku berlari menembus hujan. Kepalanya mendongak dengan mata menyalang menantang tetesan liquid tawar itu. Bibirnya terbuka dan menjeritkan tawa kemenagan.

Kami terus berlari menyusuri jalan raya yang dipenuhi kendaraan. Dan masih terus berlari ketika kami memasuki gang perkampungan yang sempit. Entah kenapa, aku mulai merasa tertarik dengan sensasi yang hujan berikan padaku. Rasa dinginnya seolah memberikan kesegaran baru padaku. Namun tak urung, aku merasa lelah juga berlari seperti ini

“Ian, bisa berhenti nggak? Aku capek!”teriakku melawan suara hujan.

“Tunggu! Sebentar lagi sampai kok!”balas Ian.

Aku menghela napas dan tetap mengikutinya berlari. Jujur saja, aku benar-benar tidak kuat dalam keadaan seperti ini. Genggaman tangan Ian begitu erat, namun tak mendominasi. Lembut, seolah menuntun dan melindungiku.

Itulah yang membuat jantungku berdetak tak karuan. Berdentum-dentum seperti beduk yang dipukul menjelang berbuka puasa.

Tak berapa lama, kami pun berhenti. Ternyata Ian membawaku ke lapangan sepak bola yang ada di perkampungan kumuh itu. Beberapa anak kecil tampak bermain bola di sana. Berlari-lari riang mencoba saling mengejar.

Tetapi aku masih belum bisa memahami maksud dan tujuan Ian mengajakku ke sini. Dan belum sempat aku menanyakannya, Ian sudah menarikku kembali dan berlari menuju kerumunan anak-anak kecil itu.

Melihat kami yang datang, sontak gerombolan anak kecil itu berhenti bermain. Mereka menatapku dan Ian, dengan kening berkerut dan pandangan yang penuh tanda tanya.

“Ian, mending pulang yuk,”bisikku pada Ian.

Namun Ian sama sekali tak menghiraukanku. Ia masih mantap berlari sembari menarikku di belakangnya. Aku hanya bisa menghela napas pasrah.

“Kita boleh gabung nggak?”Ian bertanya saat kami sudah tiba di hadapan anak-anak kecil itu. Namun bukannya menjawab, mereka hanya diam dan saling menatap satu sama lain dengan bingung.

“Ian, udah. Pulang aja yuk. Hujannya makin deres,”bisikku lagi pada Ian.

“Tunggulah. Katanya mau nikmatin hujan?”jawab laki-laki itu lalu tersenyum manis padaku. Ya Tuhan! Aku rasa aku akan meleleh saat ini juga!

Anak laki-laki yang keliahatan paling tua, menyeruak dari gerombolan tadi dan berjalan menghampiri kami.

“Tapi yang main udah pas bang,”ucapnya.

“Tenang aja. Kita kan berdua. Jadi pas kan kalau tanding,”jawab Ian.

Anak itu kini beralih menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Membuatku ingin segera mendaratkan jitakan keras ke atas kepalanya yang botak.

“Emang dia bisa main?”tanyanya sembari menunjukku. Aku lantas mendelik ke arahnya. Enak saja! Jadi dia pikir aku tidak bisa main?

Namun kudengar Ian tertawa.

“Tenang saja! Dia bisa main kok! Bahkan ngalahin kalian kalau perlu!”ujarnya sembari tertawa.

Kini aku yang gantian mendelik ke arah Ian. Lancang benar laki-laki ini berbicara? Bagaimana kalau nanti aku kalah? Dasar!

“Mmmm….oke deh! Abang di tim saya. Ntar mbak itu di tim temen saya,”ucap anak laki-laki itu kemudian. Huh! Dasar curang!, rutukku dalam hati.

“Oke! Kita mulai sekarang!”teriak Ian riang.

Sejak berangkat dari halte tadi, akhirnya Ian melepaskan genggamannya. Aku merasakan pegal-pegal pada jemari tanganku. Namun anehnya, ada perasaan lain yang lebih mendominasi. Dan bukan hanya jemari tanganku saja yang merasakannya, namun hatiku juga.

Rasa itu, kehampaan. Aneh. Untuk apa aku merasakan hal seperti itu pada orang yang bahkan belum pernah aku temui?

Aku menatap Ian yang berjalan menuju timnya. Dan aku pun beranjak menuju tim ku.

Sial! Bocah sialan! Terang saja aku dimasukkan ke tim temannya itu, isinya bocah-bicah ingusan semua! Semprul! Aku rasa aku harus berjuang keras untuk mengalahkan mereka.

Hujan yang turun kini semakin deras. Membuat tanah lapang itu menjadi becek dan berlumpur. Sudah tak kupedulikan lagi bagaimana bentuk seragam sekolahku. Semuanya telah berubah menjadi coklat.

Permainan dimulai dari Ian yang menendang bola dan mengopernya pada teman se-timnya. Aku mengejar bola itu dan berusaha merebutnya. Sempat terjadi insiden tarik menarik baju saat aku berusaha untuk merebut bola itu. Ahh…biar curang asalkan menang!!

Dan bola pun kini ada di pihakku. Aku menggiring bola itu dengan susah payah. Berat sekali rasanya berlari di tengah lumpur seperti ini. Namun aku tak mau menyerah. Sudah saatnya wanita mengalahkan lelaki.

Gawang lawan kini sudah tampak di kejauhan. Anak yang menjaga gawang itu pun terlihat bersiaga. Setelah menentukan jarak yang cukup, akupun berhenti dan bersiap melempar serangan.



Aku tarik kakiku ke belakang dan dengan sekuat tenaga, ku tendang bola sepak itu. Jauh dari harapan! Bola yang ku kira akan melayang tinggi, malah melayang datar memprihatinkan. Sial!!!

Anak yang menjaga gawang tadi menyeringai. Bersiap-siap untuk menangkap bola hasil seranganku yang gagal.

Namun saat anak laki-laki itu hendak menghalau bola, ku lihat kaki kirinya terperosok ke dalam kubangan lumpur. Tubuh anak itu oleng, lalu jatuh terjerembab mencium tanah.


Sontak aku tertawa. Terlebih lagi ketika melihat bola yang tadi ku tendang, masuk ke dalam gawang dengan mulusnya.

Aku ingin meloncat kegirangan, namun gagal saat kurasakan tubuh-tubuh mungil anggota setim-ku, memeluk tubuhku dari berbagai arah. Aku yang belum siap mendapat serangan itu, langsung jatuh berguling-guling di lumpur.

Aku tak marah. Melainkan tertawa. Tawa paling riang yang pernah aku rasakan selama hidupku. Tubuhku berguling-guling di atas lumpur. Badanku basah kuyup akibat air hujan. Namun tak kurasakan risau sedikitpun. Aku merasa bebas. Lepas. Rasa benciku pada hujan pun mendadak sirna. Ketakutanku akan hujan, kini berhasil kuhilangkan. Hujan tak buruk. Hujan tak membawa sial.

Hujan memberikanku kebebasan. Kebebasan padaku untuk menjadi diriku sendiri. Di bawah naungan hujan, aku tak perlu berlagak sok pintar. Tak perlu menjadi Ana-Sang Perfeksionis, seperti yang sering teman-temanku ucapkan. Aku hanya menjadi aku. Ana yang senang bermain di kubangan lumpur. Ana yang tak pernah takut kebasahan.

Tubuhku masih berbaring telentang, meskipun tubuh-tubuh mungil yang tadi memelukku, sudah pergi menjauh. Ku lihat bentangan langit kelabu yang tertera di atasku. Titik-titik hujan yang jatuh, masuk ke dalam mulut dan mataku. Namun aku tak mau menutup ke dua panca indra itu. Kubiarkan lidahku menyesap rasa tawar hujan yang berhasil menyelinap ke dalamnya. Dan kubiarkan mataku menampung tetes demi tetes hujan yang berhasil memasukinya.

Rasa benciku pada hujan, muncul bukan karena hujan menyebabkan kemacetan ataupun bencana alam. Melainkan sebab yang lain.



Umurku masih 14 tahun. Saat itu pulang sekolah. Aku sedang menunggu bus di halte yang biasa aku gunakan.

Hujan turun dengan deras sekali. Kilat dan guntur pun saling bersahut-sahutan. Namun, aku malah tersenyum mendapati keadaan ini. Tak seperti orang-orang lain yang malah merutuk dan melancarkan sumpah serapah.

Aku mencintai hujan. Aku merasakan dunia yang berbeda ketika mencium aroma-aroma rumput dan tanah yang basah. Saat melihat tetes-tetes hujan yang mengalir membasahi setiap helai daun pepohonan, aku bisa merasakan besar cinta Tuhan pada makhluk yang telah ia ciptakan.

Tanganku tak henti-hentinya bermain dengan tetesan hujan yang mengalir dari atap halte. Mengumpulkannya dalam telapak tanganku, hingga kubiarkan meluap-luap. Dan saat itulah aku melihat bocah laki-laki itu.

Meskipun ia berdiri di seberang jalan, dan air hujan sedikit mengaburkan pandangan, aku bisa melihat bahwa bocah laki-laki itu menatapku. Wajahnya tak terlalu jelas. Namun sepertinya, ia sedang tersenyum.

Dan kemudian, kulihat ia berjalan ke arahku. Dengan badan yang basah kuyup oleh air hujan, ia melangkah menyebrangi jalan raya.

Mataku sontak melotot tajam saat kulihat sebuah mobil melaju cepat ke arahnya. Namun anak itu masih tetap berjalan santai seolah tak terjadi apa-apa. Orang-orang di sekitarku kini mulai berteriak memperingatinya.

Mobil itu berputar-putar ganjil di jalan raya. Sepertinya bannya tergelincir. Namun yang menjadi permasalahan, bocah laki-laki itu belum juga menyadari posisinya. Mobil gila itu pun semakin mendekat. Orang-orang di sekitarku juga berteriak semakin kencang.

Aku tak bisa berkata apa-apa saking shocknya. Hanya tinggal beberapa detik saja, body mobil itu akan langsung menghantam tubuh bocah laki-laki itu.

Dan entah mendapat dorongan dari mana, aku melangkahkan kakiku untuk berlari meninggalkan halte bus menuju bocah laki-laki yang mulai terlihat panik itu. Sudah terlambar bagiku untuk kembali. Yang dapat kulakukan hanyalah menarik anak laki-laki itu, lalu membawanya ke seberang dengan secepat kilat.

Namun sayang, jalan aspal yang becek membuatku terpeleset dan tubuhku pun limbung. Masih sempat ku dorong tubuh anak laki-laki itu hingga ke seberang, tetapi tak ada kesempatan lagi bagiku untuk menyelamatkan diri.

Dapat kudengar suara orang-orang yang berteriak memperingatkanku. Namun semuanya sudah terlambat. Mobil itu menghantam tubuhku. Tulangku terasa remuk dan pecah berkeping-keping. Kurasakan tubuhku melayang tinggi, lalu menghantam tanah dengan bunyi derak mengerikan. Semuanya mendadak hening. Yang dapat kudengar hanyalah dengung aneh yang menyeruak masuk ke dalam gendang telingaku. Udara mendadak menjadi dingin. Hujan serasa memusuhiku. Mereka tetap terjatuh meskipun aku telah terkapar tak berdaya di atas tanah. Bau anyir darah pun mulai tercium. Namun belum sempat aku menyadari semuanya, selubung gelap telah menyelimuti pandanganku.

Sejak saat itu aku mulai membenci hujan. Aku merasa hujan telah menghinatiku. Merekalah yang membuat mobil itu tergelincir. Dan hujan pula-lah yang membuatku tertabrak hingga harus koma selama 3 hari.

Namun diantara semua itu, hal yang membuatku lebih-lebih membenci hujan, adalah bocah laki-laki itu. Ia sama sekali tak mendatangiku selama di rumah sakit. Tak ada ucapan terima kasih. Atau apapun. Semuanya terasa sia-sia.



“Sepertinya kamu sudah mulai menikmati hujan,”suara Ian yang tiba-tiba, sontak membuyarkan lamunanku. Aku segera bangkit dari posisi berbaringku tadi. Aku tersenyum padanya.

“Tapi kayaknya kita harus berhenti main. Ada hal lain yang mau aku tunjukin ke kamu,”ujarnya lagi.

Ia berbalik dan memanggil anak-anak tadi. Dengan raut wajah menyesal, ia berkata pada anak-anak itu, bahwa kami tidak bisa ikut bermain lagi. Hal yang sangat mengejutkan bagiku saat melihat ekpresi mereka yang terlihat sedih ketika mendengar ucapan Ian. Bahkan sebelum kami pergi, anak paling tua yang tadi sempat meremehkan kemampuanku, menjabat tanganku dan berkata bahwa permainanku sangat hebat. Dan lain waktu, ia ingin menantangku kembali. Aku hanya tersenyum menanggapinya.

Dan kini, Ian menggenggam tanganku lagi. Lalu kembali mengajakku berlari menembus hujan.

Kami berlari semakin masuk ke dalam perkampungan kumuh itu. Rumah-rumah yang ada di sekitar sana, hanya terbuat dari papan triplek dan atap seng yang benar-benar apa adanya.

Namun yang membuatku heran, di setiap atap seng itu, diletakkan 2 sampai 3 galon air mineral.

“Penduduk di sini memanfaatkan air hujan untuk keperluan mereka. Kayak minum, mandi, trus banyak lagi. Mereka membutuhkan hujan. Hujan memberikan kehidupan bagi mereka,”ujar Ian.

Ian mengucapkannya dengan sangat tenang, namun mampu membuat hatiku bergejolak. Kata-katanya seolah mampu menembus jantungku. Tajam dan menyentuh.

Mereka membutuhkan hujan. Hujan memberikan kehidupan bagi mereka.

Hujan lambat laun mulai mereda. Secercah cahaya matahari, mulai mengintip dari balik awan-awan. Namun Ian tak juga menghentikan larinya, bahkan ketika kami mulai memasuki jalan raya.

Ian kini mengajakku menyusuri trotoar, lalu berhenti di depan sebuah rumah bertingkat yang baru dibangun. Dinding-dindingnya masih berupa batu bata merah. Dan bagian atas rumahnya pun belum dibuat sama sekali. Hanya ada sebuah tangga yang terbuat dari semen, yang menjadi akses untuk menuju ke bagian atas rumah yang belum memiliki atap itu.

Ian menatapku sebentar, lalu kembali mengajakku berlari memasuki rumah itu. Kami berlari menyusuri halaman luas yang tertutupi semak-semak. Terengah-engah saat mulai menaiki tangga.

Dan akhirnya, sampailah kami dipuncak gedung itu. Tak pernah kusangka bahwa pemandangan di atas sini benar-benar menabjubkan. Semuanya terlihat jelas. Bahkan anak-anak yang sedang bermain bola di lapangan tadi pun, nampak jelas dari sini. Gedung-gedung megah kota Jakarta menjulang anggun, seolah hendak membelah langit.

Aku tersenyum penuh haru. Hal yang kulihat saat ini, benar-benar menakjubkan.

“Indah kan?”tanya Ian padaku.

Aku menggeleng-geleng takjub.

“Ini benar-benar menakjubkan, Ian”jawabku.

Ian tersenyum. Ia membimbingku duduk di pinggir gedung. Sangat mengerikan untuk duduk di tempat seperti ini. Namun genggaman tangan Ian yang tak kunjung lepas, meyakinkanku bahwa aku aman dan terlindungi.

Ian menoleh padaku dan menatapku lekat-lekat. Secercah cahaya matahari sore, terbias pada sebagian wajahnya. Entah hanya perasaanku aja atau apa, aku merasa wajah Ian terlihat lebih pucat dari sebelumnya.

“Kau senang?”tanyanya.

“Aku bahagia,”jawabku sembari tersenyum. Senyum paling manis yang bisa kuberikan. Laki-laki yang duduk di sampingku itu pun ikut tersenyum.

“Terima kasih atas semuanya,”ucap Ian tulus.

Aku mengerutkan keningku heran. Bingung atas ucapannya.

“Seharusnya aku yang berterima kasih. Kamu bener-bener udah merubah persepsiku tentang hujan,”ujarku.

Namun Ian tak menjawab. Ia hanya menunduk. Tangan kanannya tampak mencengkeram dadanya erat-erat.

“Kamu gak apa-apa?”tanyaku khawatir.

Ian menggeleng.

“Aku gak apa-apa. Ana, aku minta maaf karena gak bisa menemui kamu waktu itu. Aku benar-benar minta maaf,”ucapnya dengan menyesal. Yang sukses membuatku semakin bingung. Lalu ia mendongak dan kembali menatapku.

“Dan satu hal lagi yang perlu kamu tahu tentang hujan. Mereka memunculkan pelangi,”

Ian kemudian menunjuk satu titik yang ada di langit. Aku pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Ya Tuhan! Andai saja aku bisa menangis saat itu, mungkin aku akan langsung melakukannya. Pelangi! Ya…pelangi! Melengkung sempurna menghiasi langit yang mulai menguning. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Aku benar-benar terharu dibuatnya.

“Jangan pernah membenci hujan,”ujar Ian lembut.

“Tidak akan,”jawabku mantap.

oOOo

Selama perjalanan kembali ke halte, Ian tak banyak bicara. Wajahnya semakin pucat. Dan tarikan napasnya pun semakin terdengar berat. Namun ketika aku bertanya, laki-laki itu hanya bilang bahwa ia tidak apa-apa dan aku tak perlu mengkhawatirkannya.

Ketika kami tiba di halte, bus jurusanku sudah datang. Ian menemaniku hingga masuk ke dalam bus, dan membantuku mencari tempat duduk.

Sebelum berangkat, laki-laki itu sempat menggenggam tanganku dan mengelus pipiku lembut. Tak ada kata yang ia ucapkan. Namun tatapan matanya, sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

Ku akui, aku jatuh cinta pada Ian. Jatuh cinta pada laki-laki asing yang telah menunjukkanku arti hujan sebenarnya.

“Jaga dirimu baik-baik ya,”ucapnya lembut.

Aku mengangguk sembari tersenyum. Ian mengecup keningku lembut sekali. Membuatku merinding dan wajahku bersemu merah.

Laki-laki itu pun beranjak keluar ketika kernet berteriak bahwa bus akan segera melaju. Sungguh berat bagiku untuk melepas Ian saat itu. Aku merasa, bahwa ini adalah saat terakhir aku melihatnya. Namun segera kutepis semua pikiran buruk itu. Semuanya akan baik-baik saja.

Dari balik jendela, kulihat Ian melambaikan tangan padaku. Aku tersenyum dan balas melambai padanya. Hingga akhirnya, bus pun mulai berjalan meninggalkan halte.

oOOo

0 komentar:

Posting Komentar

Siguiente Anterior Inicio