0

Sang Bocah Hujan

Rinai hujan perlahan mulai menetes membasahi bumi. Aku semakin mempercepat lariku menuju halte bus yang kini mulai tampak dari kejauhan. Genangan-genangan lumpur pun mulai berkecipak hingga meninggalkan bercak di ujung rok abu-abuku saat tak sengaja terinjak.

Tak lama kemudian, aku pun sampai di halte bus tua itu. Segera ku lepas dan ku kibaskan jaket jeansku yang telah basah. Berusaha untuk mengurangi sedikit saja air hujan yang berhasil diserapnya. Baju putih dan rok abu-abuku yang basah total pun kini sudah menyatu dengan kulitku. Dan rambutku, oh…jangan ditanya lagi! Basah dan lengket.

Aku menghela napas sembari menatap hujan yang semakin gencar melancarkan aksinya. Bahkan kilat dan guntur pun kini ikut mengambil peran dalam permainan semesta ini.



Hujan. Aku benci hujan. Hujan hanya menimbulkan kekacauan. Terlebih lagi di kota yang selalu macet seperti Jakarta. Memang para petani membutuhkan hujan untuk sawah mereka, tapi siapa yang akan menjadi petani di kota metropolitan seperti ini? Belum lagi bencana yang ia timbulkan. Hahh…hujan memang benar-benar MEREPOTKAN!

Dan gigiku mendadak berkeretak saat semilir angin tiba-tiba berhembus. Hawa dingin yang menyeruak seakan menusuk tubuhku hingga ke tulang belulang. Lantas aku menggosok-gosokkan ke dua telapak tangannku untuk mencari kehangatan.

“Hujan sialan,”rutukku pelan.

Aku berbalik dan melangkah menuju kursi halte yang mulai terkelupas catnya. Kursi itu terasa basah saat aku duduki. Menambah hawa dingin yang tengah kurasakan.

Aku mencoba menghibur diri dengan mendegar I-pod. Namun, sial! Baterainya lemah! Aku pun beralih mengambil ponselku di dalam tas, dan langsung menghela napas saat ku ingat bahwa benda itu sedang ku charge di rumah.

Sial! Sial! Sial!!!! Bagaimana aku pulang kalau begini?

Motorku sedang diperbaiki di bengkel, itu sebabnya aku pulang dengan menaiki bus. Tapi sampai sekarang, bus yang kutunggu tidak datang-datang juga. Kalau menelpon taksi pun, pakai apa??? Argggghhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!

Aku mengacak-acak rambutku frustsasi lalu menutup wajahku dan mulai menarik napas dalam-dalam.

Mendadak, kurasakan kursi yang kududuki bergerak. Aku menoleh ke sumber getaran dan mendapati seorang anak laki-laki tengah duduk di sisi lain kursi.

Laki-laki itu mengenakan kaos putih dan celana jeans. Seluruh tubuhnya terlihat basah kuyup. Namun anehnya, tak sedikitpun kutemukan raut kedinginan atau tak nyaman dari wajahnya. Anak laki-laki itu malah menerawang menatap hujan dengan senyum simpul yang terukir di wajahnya yang cukup rupawan.

“Hujan memang indah, ya,”bibirnya berucap.

Aku mengerutkan keningku heran. Mataku mengerjap-ngerjap linglung. Dengan siapa laki-laki ini berbicara?, tanyaku dalam hati.

Tiba-tiba saja anak laki-laki itu - yang kutebak seumuran denganku - menoleh dan menatapku. Pandangan matanya jatuh tepat ke dalam bola mataku. Membuat sesuatu yang ada di dalam dadaku, mendadak berdesir. Ahhh! Aku bersumpah pasti wajahku tengah memerah saat ini!!!

Ia tersenyum. Sebagian rambut hitamnya yang basah, menempel di keningnya yang putih. Tubuhku kaku seketika. Mataku telah terkunci rapat pada tatapannya yang ramah namun sedikit sayu itu.

“Aku sangat suka hujan,”ucapnya lagi.

Bibirku terlalu kelu untuk berbicara. Seolah semua konsentrasi dan nalar logikaku tersedot habis ke dalam permata pekat yang menghiasi rongga matanya.

“Kalau kamu?”

Dengan susah payah, aku menggerakkan bibirku untuk menjawab.

“Eh-eh, ti-tidak. Aku ti-tidak suka hu-hu-jan”

Tampangku pasti terlihat konyol sekali saat ini. Bayangkan, untuk berbicara beberapa patah kata saja, aku sampai gagap seperti itu.

Namun yang mengejutkan, anak laki-laki itu tidak menatapku mencela ataupun mengerutkan keningnya heran. Ia hanya berbalik menatap tetesan hujan yang terjatuh dari atap halte. Masih dengan senyum menawannya.

“Memang. Tak banyak yang menyukai hujan. Eh, ngomong-ngomong, nama kamu siapa?”

Ia berbalik lagi dan menjulurkan tangannya ke arahku. Awalnya aku ragu untuk menyambutnya, namun dengan perlahan, akhirnya ku sambut juga uluran tangan itu.

“Ana,”jawabku singkat.

Anak laki-laki itu menggenggam tanganku dalam genggamannya. Dingin. Itulah yang kurasakan.

“Nama yang bagus. Aku Adrian. Panggil saja Ian,”ia tersenyum lalu melepaskan jabatan tangannya.

Keheningan datang menyeruak setelah sesi perkenalan itu. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku menununduk menatap sepatu converse putihku yang tertutupi lumpur. Namun secara diam-diam, aku menatap Ian melalui sudut mataku. Aku melihatnya kembali bergeming menatap tetesan hujan yang kini mulai mereda.

Ku telusuri setiap bagian wajahnya. Ian memiliki wajah yang berbentuk persegi. Namun agak sedikit cekung di bagian pipi. Rambutny yang coklat dan sedikit ikal, membingaki wajahnya yang tampan dan sedikit pucat. Aneh. Aku merasa pernah melihat wajah itu sebelumnya. Tetapi di mana?

Dan tiba-tiba saja, Ian mengalihkan pandangannya dan menatapku. Sontak ku tundukkan wajahku kembali. Kupingku terasa panas. Napasku memburu dan jantungku berdegup cepat sekali.

“Kamu menunggu bus ya?”tanyanya.

Aku mengangguk kikuk. Masih tetap menunduk.

“Mmm…aku rasa busmu sudah datang,”ucapnya lagi.

Butuh beberapa saat bagiku untuk mencerna setiap kata yang terlontar dari bibirnya. Namun suara kernet bus yang berisik, membuatku tersadar dari kebingunganku itu. Aku mendongak dan segera panik saat kulihat bus jurusanku sudah terparkir di depan halte yang aku tempati. Dan dengan gerakan cepat, aku bangkit dan menarik tas selempangku.

Aku hendak berlari, namun mendadak berhenti ketika kurasakan kulit tangan Ian yang dingin, menyentuh jemariku dan menggenggamnya ke dalam jemarinya.

Sontak aku menoleh. Ia menatapku, masih dengan tangan kami yang saling tergenggam. Perlahan, Ian pun tersenyum.

“Besok kamu menunggu di sini lagi kan?”tanyanya.

Aku menjawabnya dengan anggukan ragu. Ian tersenyum semakin lebar. Sepertinya senang dengan jawabanku.

“Besok aku akan ajak kamu menikmati hujan,”ucapnya lagi lalu perlahan melepas tanganku.

Senyumnya terlalu menawan. Hingga membuatku sulit untuk menarik napas. Dan bukannya balas tersenyum atau apa, aku malah pergi meninggalkannya menuju bus.

Aku tak menatapnya saat berjalan, namun setelah duduk di kursi bus, kugerakkan mataku untuk sekedar meliriknya.

Yah...Ian masih di sana. Masih duduk dengan mata menatap sisa-sisa air hujan yang menetes dari atap halte. Hingga akhirnya, bus pun berjalan menjauh, dan hilang sudah sosok Sang Bocah Hujan dari pandanganku.

oOOo

0 komentar:

Posting Komentar

Siguiente Inicio